Senin, 30 April 2012

NILAI STRATEGIS UJIAN NASIONAL (UN)

NILAI STRATEGIS UJIAN NASIONAL (UN)

OLEH : ICHSANUDIN, S. Pd., M. Pd
NIP. 19710331 199802 1 003
Guru Matematika SMP N 2 Purwantoro

1.        PENDAHULUAN
Artikel ini mengambil judul “ Nilai Strategis Ujian Nasional (UN)” yang dimuat dalam Media Komunikasi Edukasi Informasi PPPPTK Matematika Yogyakarta Edisi Nomor 23, Agustus 2009 yang ditulis oleh Kusaeri seorang Staf pengajar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sekolah Tinggi Teknik (STTQ) Gresik dan Universitas Islam Malang (UNISMA).
Penulis mengambil artikel ini karena Nilai Ujian Nasional selama ini merupakan momok bagi siswa Sekolah Menengah Baik Menengah Pertama (SMP) maupun Menengah Atas (SMA). Hal ini karena nilai UN sebagai tolok ukur atau salah satu penentu kelulusan selama 3 tahun mereka belajar di sekolah menengah. Setiap sekolah dari jauh- jauh hari sebelum pelaksanaan UN telah mempersiapkan siswa-siswanya dengan memberikan tambahan jam pelajaran (les) dan melakukan penjajakan melalui tes uji coba atau dikenal dengan try out yang dilakukan beberapa kali  untuk mengetahui kesiapan siswa dalam mengahadapi Ujian Nasional.
Dalam media massa maupun berita sering kita mendengar bahwa pelaksanaan Ujian Nasional selama ini sering terjadi kecurangan dengan adanya kebocoran soal maupun beredarnya kunci jawaban yang dilakukan oleh seorang oknum guru. Hal inilah yang menarik perhatian bagi kami kenapa hal ini terjadi, sebenarnya ujian nasional ini bertujuan baik harus dinodai dengan adanya ketidakjujuran maupun kecurangan.

2.        RANGKUMAN
Sistem penilaian yang baik tergantung pada jenis penilaian yang sesuai dengan mudah dipahami oleh orang yang membutuhkan. Disamping keputusan hasil penilaian dapat digunakan untuk memaksimalkan potensi siswa dalam pembelajaran. Drake (2007) membagi penilaian kedalam 3 kelompok, yakni Assessment For Learning (AFL), Assessment Of learning (AOL) dan Assessment As Learning (AAL).
Ujian Nasional / UASBN memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan penilaian yang seharusnya dilakukan oleh guru. Bila dicermati UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 pasal 57 tentang peran evaluasi yang menyebutkan bahwa evaluasi dilaksanakan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas peyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Yang diperkuat dengan Permendiknas N0 78 tahun 2008 pasal 2 UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan  secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan tehnologi. Wajarlah jika pemerintah masih menyelenggarakan UN karena mengukur sejauh mana tingkat pencapaian Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) bagi satuan pendidikan yang bersangkutan. UN juga perlu dilakukan mengingat kualitas sekolah yang satu dengan yang lain amat beragam.
Disisi lain munculnya Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) sejak tahun 2006 telah memunculkan pemahaman yang beragam dan banyak orang mengatakan “Apakah dengan diberlakukannya KTSP maka UN masih diperlukan” ? jawaban sederhana bila dalam KTSP masing-masing sekolah diberikan kebebasan mengembangkan soal ujian untuk siswanya, maka sangatlah logis jika mereka akan menyusun soal yang membuat siswanya semua lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Disinilah UN sebagai tolok ukur yang bisa digunakan sebagai benchmarking tatkala marginalitas kemampuan antar sekolah yang beragam antara satu sekolah dengan sekolah yang lain. Hasil UN setidaknya dapat digunakan untuk memetakan bagaimana capaian siswa, sekolah, atau daerah tertentu pada standar nasional yang dipersyaratkan.
Target Depdiknas menjadikan UN SMA dan Madrasah Aliyah sebagai bahan pertimbangan dalam penerimaan mahasiswa baru di PTN di tahun 2012  tidak akan mudah. PTN menilai pelaksanaan UN masih  butuh pembenahan serius agar lebih kredibel. Kecurangan dan ketidakjujuran yang dilakukan Kepala Sekolah dan guru masih sering terungkap setiap dilaksanakan UN. Bahkan 33 sekolah di Indonesia diidentifikasi melakukan kecurangan secara sistematik sehingga harus melakukan UN pengganti. Dengan penentuan standar kelulusan yang dinaikkan cenderung memicu terjadinya beragam kecurangan secara sistematik tersebut. Keberhasilan lulus UN 100% seringkali menjadi target kepala daerah dan hal ini berdampak pada penekanan para guru, kepala sekolah dan dinas pendidikan.
Sudah waktunya kedepan pola kebijakan UN dapat meniru pola UASBN yang sudah berjalan 3 tahhun. Artinya hasil UN tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa tetapilebih merupakan pemetaan mutu program atau satuan pendidikan. Dengan demikian beragam kecurangan dalam UN yang seringkali terjadi dapat diminimalisir seperti halnya sepinya kecurangan yang terjadi pada UASBN yang tidak pernah kita dengar. Dengan mengubah pola kebijakan UN meniru UASBN maka hasil UN semakin dapat dijadikan dasar pembinaan serta pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan masih suburnya kecurangan dan ketidajujuran UN maka semakin tipislah harapan Depdiknas meyakinkan pimpinan PTN agar hasil UN menjadi dasar seleksi masuk PTN pada tahun 2012. Dalam konteks ini kita perlu merenung dan melakukan refleksi, tujuan dicapai dengan menghalalkan segala cara. Generasi penerus bangsa diajari berbangga pada hasil, walaupun proses untuk mendapatkannya penuh kecurangan dan ketidakjujuran. Legalitas ketidakjujuran lambatlaun menjadi etos kerja, tercermin melalui komitmen pribadi kaum pendidik hanya memerlukan keahlian atau ketrampilan saja, komitmen moral dinomorduakan. Usaha untuk melakukan pemetaan kwalitas pendidikan berdasarkan hasil UN menjadi lebih semu. Sekolah jelek mutunya dianggap bagus. Kalau boleh berharap dunia pendidikan seyogyanya jangan disusupioleh mentalitas mafia. Sudah saatnya kebikjakan Un yang tidak lagi mengedepankan standar kelulusan secara seragam, mungkin pola UASBN dapat mengganti pola UN yang digunakan selama ini agar kehancuran bangsa Indonesia di masa yang akan datang tidak tejadi. Dengan demikian maka UN akan memiliki makna strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia.

3.        KRITIK.
Secara pribadi saya sebagai tenaga pendidik menyetujui dengan adanya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional, tetapi nilai UN jangan dijadikan satu-satunya patokan atau nilai penentu kelulusan siswa karena sering terjadi bahwa siswa yang sehari-hari termasuk siswa yang pandai kadang terjadi pada nilai UN tidak berhasil. Hal ini bisa terjadi saat mengerjakan UN siswa bisa di pengaruhi faktor-faktor tertentu, misalnya kesehatan, psykologi yang pada saat itu kurang baik sehingga menyebabkan siswa tidak berhasil dalam mengerjakan UN. Kebijakan UN tidak memenuhi asumsi tentang adanya praktek kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang melibatkan komunitas sekaolah yaitu siswa, guru, kepala sekolah dan masyarakat. Banyak kasus reformasi pendidikan baik di negara barkembang maupun dinegara maju yang tidak melibatkan komunitas sekolah dalam proses pengambilan keputusannya berakibat kegagalan.  Saya mempunyai pendapat jika UN yang selama ini berjalan tetap masih diadakan tetapi dengan mempertimbangkan nilai pelajaran yang lain dan nilai rapot selama  3 tahun siswa belajar di sekolah terutama bagi sekolah menengah sehingga lulus tidaknya siswa tidak hanya ditentukan oleh nilai UN saja.
Dengan adanya team independen yang diterjunkan ke sekolah-sekolah oleh pemerintah sebenarnya merupakan usaha untuk meminimalkan terjadi kecurangan dalam pelaksanaan UN. Sebagai tenaga pendidik yang profesional marilah kita bersama-sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan indonesia ini dengan bekerja dengan jujur dan bertanggung jawab, janganlah kita dijadikan alat untuk kepentingan politik atasan maupun pemerintah daerah untuk mencari nama baik dengan mengorbankan harga diri kita sebagai insan cendekia. Bagi tenaga pendidik yang masihmelakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN itu mencerminkan pribadi yang tidak profesional, karena guru mempunyai empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Dalam kompetensi yang dimiliki guru salah satunya disebutkan guru menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyrakat.  
Tentang kebijakan Mendiknas nilai UN sebagai bahan pertimbangan dalam selesksi masuk Perguruan Tinggi pada tahun 2012. Rencana intrgrasi UN-SNMPTN jangan-jangan hanya kebijakan dadakan untuk meredam hingar bingar protes pengamat dan praktisi pendidikan terhadap kebijakan UN. Jika kebijakan ini benar adanya seyogyanya Mendiknas akan memiliki team terlebih dahulu yang akan bekerja mencari fakta-fakta strategis tentang relasi UN dengan kapasitas guru dan orang tua serta pihak Perguruan Tinggi terhadap calon mahasiswa yang akan masuk Perguruan Tinggi. Kebijakan kurikulum yang tidak memiliki relasi dengan kebijakan UN dengan model kurikulum yang dikembangkan di Perguruan Tinggi, maka perlu adanya kebijakan untuk memperbaiki seluruh proses pembelajaran pada tingkat kelas dan kegiatan pendukung lainnya pada lingkungan sekolah. Serta belum meratanya kualitas antarsekolah, baik kapasitas guru, kemampuan dukungan orangtua, maupun  finansial dan kepedulian pemerintah daerah dalam mengatasi masalah pendidikan didaerah masing-masing. 

4.        SIMPULAN.
UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional masih perlu dilaksanakan, tetapi nilai UN tidak sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Dalam menentukan kelulusan siswa perlu mempertimbangkan komunitas sekolah yang terdiri dari siswa, guru, kapala sekolah dan masyarakat, banyak rafomasi pendidikan yang tidak memperhatikan komunitas sekolah dalam pengambilan keputusan berakibat kegagalan. Terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN yang sering terjadi sebenarnya hanya sebagai koraban dari kepentingan politik pihak-pihak tertentu, sehingga guru atau tenaga pendidik yang masih mau melakukan kecurangan merupakan guru yang belum profesional karena belum mencerminkan  kompetensi kepribadian yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Kebijakan integrasi nlai UN – SNMPTN perlu dipertimbangkan kembali oleh Mendiknas mengingat Kebijakan kurikulum yang tidak memiliki relasi dengan kebijakan UN dengan model kurikulum yang dikembangkan di Perguruan Tinggi dan belum meratanya kualitas antarsekolah, baik kapasitas guru, kemampuan dukungan orangtua, maupun  finansial dan kepedulian pemerintah daerah dalam mengatasi masalah pendidikan didaerah masing-masing. 

5.        REFERENSI
Ahmad Baedowi, 2009. Artikel” Menimbang Kebijakan integrasi UN-SNMPTN”
Opini Media Indonesia : Jakarta
Idris Harta, 2010. Pedagogik Khusus Bidang Studi Matematika. Depdiknas UMS
FKIP-UMS: Surakarta.

1 komentar:

naeemfabiani mengatakan...

NJ Casinos & Resorts - JTM Hub
Visit New Jersey Casinos 익산 출장안마 & Resorts, the premiere 창원 출장마사지 destination for 강원도 출장샵 casino 광주광역 출장안마 gaming, dining, and entertainment. Discover the NJ 강릉 출장마사지 Casinos in 2021

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Premium Wordpress Themes