NILAI STRATEGIS
UJIAN NASIONAL (UN)
OLEH :
ICHSANUDIN, S. Pd., M. Pd
NIP. 19710331 199802 1
003
Guru Matematika SMP N 2 Purwantoro
1.
PENDAHULUAN
Artikel ini mengambil judul “ Nilai Strategis Ujian
Nasional (UN)” yang dimuat dalam Media Komunikasi Edukasi Informasi PPPPTK
Matematika Yogyakarta Edisi Nomor 23, Agustus 2009 yang ditulis oleh Kusaeri
seorang Staf pengajar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sekolah Tinggi Teknik (STTQ)
Gresik dan Universitas Islam Malang (UNISMA).
Penulis mengambil artikel ini karena Nilai Ujian
Nasional selama ini merupakan momok bagi siswa Sekolah Menengah Baik Menengah
Pertama (SMP) maupun Menengah Atas (SMA). Hal ini karena nilai UN sebagai tolok
ukur atau salah satu penentu kelulusan selama 3 tahun mereka belajar di sekolah
menengah. Setiap sekolah dari jauh- jauh hari sebelum pelaksanaan UN telah
mempersiapkan siswa-siswanya dengan memberikan tambahan jam pelajaran (les) dan
melakukan penjajakan melalui tes uji coba atau dikenal dengan try out yang
dilakukan beberapa kali untuk mengetahui
kesiapan siswa dalam mengahadapi Ujian Nasional.
Dalam media massa maupun berita sering kita
mendengar bahwa pelaksanaan Ujian Nasional selama ini sering terjadi kecurangan
dengan adanya kebocoran soal maupun beredarnya kunci jawaban yang dilakukan
oleh seorang oknum guru. Hal inilah yang menarik perhatian bagi kami kenapa hal
ini terjadi, sebenarnya ujian nasional ini bertujuan baik harus dinodai dengan
adanya ketidakjujuran maupun kecurangan.
2.
RANGKUMAN
Sistem
penilaian yang baik tergantung pada jenis penilaian yang sesuai dengan mudah
dipahami oleh orang yang membutuhkan. Disamping keputusan hasil penilaian dapat
digunakan untuk memaksimalkan potensi siswa dalam pembelajaran. Drake (2007)
membagi penilaian kedalam 3 kelompok, yakni Assessment For Learning (AFL),
Assessment Of learning (AOL) dan Assessment As Learning (AAL).
Ujian
Nasional / UASBN memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan penilaian yang
seharusnya dilakukan oleh guru. Bila dicermati UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 pasal
57 tentang peran evaluasi yang menyebutkan bahwa evaluasi dilaksanakan dalam
rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk
akuntabilitas peyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Yang diperkuat dengan Permendiknas N0 78 tahun 2008 pasal 2 UN bertujuan
menilai pencapaian kompetensi lulusan
secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan tehnologi. Wajarlah jika pemerintah masih
menyelenggarakan UN karena mengukur sejauh mana tingkat pencapaian Standar
Kompetensi Kelulusan (SKL) bagi satuan pendidikan yang bersangkutan. UN juga
perlu dilakukan mengingat kualitas sekolah yang satu dengan yang lain amat
beragam.
Disisi
lain munculnya Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) sejak tahun 2006
telah memunculkan pemahaman yang beragam dan banyak orang mengatakan “Apakah
dengan diberlakukannya KTSP maka UN masih diperlukan” ? jawaban sederhana bila
dalam KTSP masing-masing sekolah diberikan kebebasan mengembangkan soal ujian
untuk siswanya, maka sangatlah logis jika mereka akan menyusun soal yang
membuat siswanya semua lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Disinilah UN
sebagai tolok ukur yang bisa digunakan sebagai benchmarking tatkala
marginalitas kemampuan antar sekolah yang beragam antara satu sekolah dengan
sekolah yang lain. Hasil UN setidaknya dapat digunakan untuk memetakan
bagaimana capaian siswa, sekolah, atau daerah tertentu pada standar nasional
yang dipersyaratkan.
Target
Depdiknas menjadikan UN SMA dan Madrasah Aliyah sebagai bahan pertimbangan
dalam penerimaan mahasiswa baru di PTN di tahun 2012 tidak akan mudah. PTN menilai pelaksanaan UN
masih butuh pembenahan serius agar lebih
kredibel. Kecurangan dan ketidakjujuran yang dilakukan Kepala Sekolah dan guru
masih sering terungkap setiap dilaksanakan UN. Bahkan 33 sekolah di Indonesia
diidentifikasi melakukan kecurangan secara sistematik sehingga harus melakukan
UN pengganti. Dengan penentuan standar kelulusan yang dinaikkan cenderung
memicu terjadinya beragam kecurangan secara sistematik tersebut. Keberhasilan
lulus UN 100% seringkali menjadi target kepala daerah dan hal ini berdampak
pada penekanan para guru, kepala sekolah dan dinas pendidikan.
Sudah
waktunya kedepan pola kebijakan UN dapat meniru pola UASBN yang sudah berjalan
3 tahhun. Artinya hasil UN tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa
tetapilebih merupakan pemetaan mutu program atau satuan pendidikan. Dengan
demikian beragam kecurangan dalam UN yang seringkali terjadi dapat
diminimalisir seperti halnya sepinya kecurangan yang terjadi pada UASBN yang tidak
pernah kita dengar. Dengan mengubah pola kebijakan UN meniru UASBN maka hasil
UN semakin dapat dijadikan dasar pembinaan serta pemberian bantuan kepada
satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan
masih suburnya kecurangan dan ketidajujuran UN maka semakin tipislah harapan
Depdiknas meyakinkan pimpinan PTN agar hasil UN menjadi dasar seleksi masuk PTN
pada tahun 2012. Dalam konteks ini kita perlu merenung dan melakukan refleksi,
tujuan dicapai dengan menghalalkan segala cara. Generasi penerus bangsa diajari
berbangga pada hasil, walaupun proses untuk mendapatkannya penuh kecurangan dan
ketidakjujuran. Legalitas ketidakjujuran lambatlaun menjadi etos kerja,
tercermin melalui komitmen pribadi kaum pendidik hanya memerlukan keahlian atau
ketrampilan saja, komitmen moral dinomorduakan. Usaha untuk melakukan pemetaan
kwalitas pendidikan berdasarkan hasil UN menjadi lebih semu. Sekolah jelek
mutunya dianggap bagus. Kalau boleh berharap dunia pendidikan seyogyanya jangan
disusupioleh mentalitas mafia. Sudah saatnya kebikjakan Un yang tidak lagi
mengedepankan standar kelulusan secara seragam, mungkin pola UASBN dapat
mengganti pola UN yang digunakan selama ini agar kehancuran bangsa Indonesia di
masa yang akan datang tidak tejadi. Dengan demikian maka UN akan memiliki makna
strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia.
3.
KRITIK.
Secara pribadi saya sebagai tenaga pendidik
menyetujui dengan adanya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional,
tetapi nilai UN jangan dijadikan satu-satunya patokan atau nilai penentu
kelulusan siswa karena sering terjadi bahwa siswa yang sehari-hari termasuk
siswa yang pandai kadang terjadi pada nilai UN tidak berhasil. Hal ini bisa
terjadi saat mengerjakan UN siswa bisa di pengaruhi faktor-faktor tertentu,
misalnya kesehatan, psykologi yang pada saat itu kurang baik sehingga
menyebabkan siswa tidak berhasil dalam mengerjakan UN. Kebijakan UN tidak
memenuhi asumsi tentang adanya praktek kepemimpinan dan pengambilan keputusan
yang melibatkan komunitas sekaolah yaitu siswa, guru, kepala sekolah dan
masyarakat. Banyak kasus reformasi pendidikan baik di negara barkembang maupun
dinegara maju yang tidak melibatkan komunitas sekolah dalam proses pengambilan
keputusannya berakibat kegagalan. Saya
mempunyai pendapat jika UN yang selama ini berjalan tetap masih diadakan tetapi
dengan mempertimbangkan nilai pelajaran yang lain dan nilai rapot selama 3 tahun siswa belajar di sekolah terutama
bagi sekolah menengah sehingga lulus tidaknya siswa tidak hanya ditentukan oleh
nilai UN saja.
Dengan adanya team independen yang diterjunkan ke
sekolah-sekolah oleh pemerintah sebenarnya merupakan usaha untuk meminimalkan
terjadi kecurangan dalam pelaksanaan UN. Sebagai tenaga pendidik yang
profesional marilah kita bersama-sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan
indonesia ini dengan bekerja dengan jujur dan bertanggung jawab, janganlah kita
dijadikan alat untuk kepentingan politik atasan maupun pemerintah daerah untuk
mencari nama baik dengan mengorbankan harga diri kita sebagai insan cendekia.
Bagi tenaga pendidik yang masihmelakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN itu
mencerminkan pribadi yang tidak profesional, karena guru mempunyai empat
kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional.
Dalam kompetensi yang dimiliki guru salah satunya disebutkan guru menampilkan
diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta
didik dan masyrakat.
Tentang
kebijakan Mendiknas nilai UN sebagai bahan pertimbangan dalam selesksi masuk
Perguruan Tinggi pada tahun 2012. Rencana intrgrasi UN-SNMPTN jangan-jangan
hanya kebijakan dadakan untuk meredam hingar bingar protes pengamat dan
praktisi pendidikan terhadap kebijakan UN. Jika kebijakan ini benar adanya
seyogyanya Mendiknas akan memiliki team terlebih dahulu yang akan bekerja
mencari fakta-fakta strategis tentang relasi UN dengan kapasitas guru dan orang
tua serta pihak Perguruan Tinggi terhadap calon mahasiswa yang akan masuk
Perguruan Tinggi. Kebijakan kurikulum yang tidak memiliki relasi dengan
kebijakan UN dengan model kurikulum yang dikembangkan di Perguruan Tinggi, maka
perlu adanya kebijakan untuk memperbaiki seluruh proses pembelajaran pada
tingkat kelas dan kegiatan pendukung lainnya pada lingkungan sekolah. Serta
belum meratanya kualitas antarsekolah, baik kapasitas guru, kemampuan dukungan
orangtua, maupun finansial dan
kepedulian pemerintah daerah dalam mengatasi masalah pendidikan didaerah
masing-masing.
4.
SIMPULAN.
UN
sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional masih perlu dilaksanakan,
tetapi nilai UN tidak sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Dalam
menentukan kelulusan siswa perlu mempertimbangkan komunitas sekolah yang
terdiri dari siswa, guru, kapala sekolah dan masyarakat, banyak rafomasi
pendidikan yang tidak memperhatikan komunitas sekolah dalam pengambilan
keputusan berakibat kegagalan. Terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN yang
sering terjadi sebenarnya hanya sebagai koraban dari kepentingan politik
pihak-pihak tertentu, sehingga guru atau tenaga pendidik yang masih mau
melakukan kecurangan merupakan guru yang belum profesional karena belum
mencerminkan kompetensi kepribadian yang
jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Kebijakan
integrasi nlai UN – SNMPTN perlu dipertimbangkan kembali oleh Mendiknas
mengingat Kebijakan kurikulum yang tidak memiliki relasi dengan kebijakan UN
dengan model kurikulum yang dikembangkan di Perguruan Tinggi dan belum
meratanya kualitas antarsekolah, baik kapasitas guru, kemampuan dukungan orangtua,
maupun finansial dan kepedulian
pemerintah daerah dalam mengatasi masalah pendidikan didaerah
masing-masing.
5.
REFERENSI
Ahmad
Baedowi, 2009. Artikel” Menimbang Kebijakan integrasi UN-SNMPTN”
Opini
Media Indonesia : Jakarta
Idris
Harta, 2010. Pedagogik Khusus Bidang Studi Matematika. Depdiknas UMS
FKIP-UMS:
Surakarta.
1 komentar:
NJ Casinos & Resorts - JTM Hub
Visit New Jersey Casinos 익산 출장안마 & Resorts, the premiere 창원 출장마사지 destination for 강원도 출장샵 casino 광주광역 출장안마 gaming, dining, and entertainment. Discover the NJ 강릉 출장마사지 Casinos in 2021
Posting Komentar