Senin, 30 April 2012
KAJIAN KRITIS TERHADAP SERTIFIKASI GURU
4/30/2012 03:02:00 PM
mgmpmatsanggar10
No comments
KAJIAN
KRITIS TERHADAP SERTIFIKASI GURU
Tri Hastuti Winarsih, S.Pd
NIP. 19690601 200003 2 003
GURU MATEMATIKA SMPN 4 PURWANTORO
Tri Hastuti Winarsih, S.Pd
NIP. 19690601 200003 2 003
GURU MATEMATIKA SMPN 4 PURWANTORO
A.
PENDAHULUAN
Istilah profesionalisme guru tentu
bukan sesuatu yang asing dalam dunia pendidikan. Secara sederhana, profesional
berasal dari kata profesi yang berarti jabatan. Orang yang profesional adalah orang
yang mampu melaksanakan tugas jabatannya secara mumpuni, baik secara konseptual
maupun aplikatif. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan
mumpuni dalam melaksanakan tugas jabatan guru. Bila ditinjau secara lebih
dalam, terdapat beberapa karakteristik profesionalisme guru. Rebore (1991)
mengemukakan enam karakteristik profesionalisme guru, yaitu: (1) pemahaman dan
penerimaan dalam melaksanakan tugas, (2) kemauan melakukan kerja sama secara
efektif dengan siswa, guru, orang tua siswa, dan masyarakat, (3) kemampuan
mengembangkan visi dan pertumbuhan jabatan secara terus menerus, (4)
mengutamakan pelayanan dalam tugas, (5) mengarahkan, menekan dan menumbuhkan
pola perilaku siswa, serta (6) melaksanakan kode etik jabatan.
Guru yang profesional memiliki tingkat
berpikir abstrak yang tinggi, yaitu mampu merumuskan konsep, menangkap,
mengidentifikasi, dan memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapi dalam
tugas, dan juga memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Komitmen
adalah kemauan kuat untuk melaksanakan tugas yang didasari dengan rasa penuh
tanggung jawab,profesionalisme guru dapat dicapai bila guru ahli (expert)
dalam melakasnakan tugas, dan selalu mengembangkan diri (growth).
Glatthorm (1990) mengemukakan bahwa dalam melihat profesionalisme guru,
disamping kemampuan dalam melaksanakan tugas, juga perlu mempertimbangkan aspek
komitmen dan tanggung jawab (responsibility), serta kemandirian (autonomy).Membicarakan
tentang profesionalisme guru, tentu tidak bisa dilepaskan dari
kegiatan pengembangan profesi guru itu sendiri. Secara garis besarnya, kegiatan
pengembangan profesi guru dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1)
pengembangan intensif (intensive development), (2) pengembangan
kooperatif (cooperative development), dan (3) pengembangan mandiri (self
directed development).
Pada saat yang bersamaan, kita pun
saat ini sedang dihadapkan dengan era otonomi daerah, yaitu sebuah paradigma
baru dari sistem pemerintahan, yang semula bersifat otoriter-sentralistik
menuju ke arah demokratik-desentralistik. Sebagai paradigma baru, tentunya akan
mempunyai implikasi yang sangat luas pula terhadap tatanan kehidupan. Berbagai
persoalan akan muncul, baik yang bersifat tantangan maupun hambatan. Dengan
kewenangan yang luas, daerah seyogyanya lebih mampu untuk memberdayakan diri
dan memacu partisipasi masyarakatnya dalam berbagai kegiatan pembangunan,
sehingga pada gilirannya benar-benar akan dapat terwujud berbagai kemajuan yang
signifikan.
Dari sini timbul pertanyaan,
bagaimanakah agar kita benar-benar dapat survive dan eksis guna menghadapi
kedua tantangan zaman tersebut. Tak lain jawabannya, kualitas sumber daya
manusia ! Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi amat penting karena hanya
dengan sentuhan manusia-manusia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi,
keterampilan yang handal dan sikap moral yang tinggi, maka berbagai persoalan
yang muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya era globalisasi dan era
otononomi daerah sangat diyakini akan bisa terjawab. Oleh karena itu, gerakan
usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya menjadi komitmen
seluruh komponen bangsa. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya
manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk
menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan
untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
B.
ISI
·
Profesionalisme Guru menurut Kepala Sub Direktorat Jendral
Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan
Nasional.
Membicarakan tentang profesionalisme guru, tentu tidak bisa dilepaskan dari
kegiatan pengembangan profesi guru itu sendiri. Secara garis besarnya, kegiatan
pengembangan profesi guru dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: Pengembangan
intensif (intensive development) adalah bentuk pengembangan yang
dilakukan pimpinan terhadap guru yang dilakukan secara intensif berdasarkan
kebutuhan guru. Model ini biasanya dilakukan melalui langkah-langkah yang
sistematis, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi dan
pertemuan balikan atau refleksi. Teknik pengembangan yang digunakan antara lain
melalui pelatihan, penataran, kursus, loka karya, dan sejenisnya.
Pengembangan kooperatif (cooperative
development) adalah suatu bentuk pengembangan guru yang dilakukan melalui
kerja sama dengan teman sejawat dalam suatu tim yang bekerja sama secara
sistematis. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan profesional guru
melalui pemberian masukan, saran, nasehat, atau bantuan teman sejawat. Teknik
pengembangan yang digunakan bisa melalui pertemuan KKG atau MGMP/MGBK.
Teknik ini disebut juga dengan istilah peer supervision atau collaborative
supervision.
Pengembangan mandiri (self
directed development) adalah bentuk pengembangan yang dilakukan melalui
pengembangan diri sendiri. Bentuk ini memberikan otonomi secara luas kepada
guru. Guru berusaha untuk merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan, dan
menganalisis balikan untuk pengembangan diri sendiri. Teknik yang digunakan bisa
melalui evaluasi diri (self evaluation) atau penelitian tindakan (action
research).
Rasanya tak perlu malu, kalau kita
belajar menimba pengalaman dari keberhasilan Vietnam dalam membangun sumber
daya manusianya, yakni dengan berusaha menempatkan pendidikan sebagai prioritas
utama pembangunan, dengan tema sentral yang sama yakni guru sebagai kunci utama
keberhasilan peningkatan sumber daya manusia. Memang, berdasarkan hasil studi
di negara-negara berkembang telah membuktikan bahwa guru memberikan kontribusi
tertinggi dalam pencapaian prestasi belajar (36%), kemudian disusul manajemen
(23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%), sebagaimana disampaikan
oleh Dirjen Dikdasmen pada acara Dies Natalis XVI Universitas Terbuka.
·
Profesionalisme Guru menurut pengkaji
Nasib bangsa Indonesia 10 tahun
yang akan datang ditentukan oleh Sistem Pendidikan dan Para Pendidik saat ini.
makanya pemerintah tidak mudah menyerahkan tugas pengajaran dan pendidikan
kepada sembarang guru, melainkan harus memiliki sertifikat pendidik melalui
proses sertifikasi.
Namun realitanya, guru-guru yang telah disertifikasi tidak jauh berbeda kinerjanya dibandingkan guru-guru non sertifikasi. bukan berarti mereka tidak mampu bekerja dengan baik, namun kemauan, motivasi, dan faktor-faktor individu lain yang mempengaruhi kinerjanya.
untuk mempertahankan tunjangan profesi, mereka hanya dibebani tugas mengajar 24 jam tatap muka agar dapat melaksanakan pengajaran dengan baik serta untuk memenuhi administrasi pembelajaran,sedangkan guru yang memiliki ketekunan yang tinggi, motivasi yang besar, serta kemauan yang besar dalam mengembangkan potensi anak didik tidak bisa mendapatkan sertifikat pendidik dikarenakan tidak lulus tes tulis pada proses sertifikasi / PLPG. 24 jam tatap muka diembannya agar bisa disertifikasi, namun se-ambreg tugas tambahan juga diberikan dikarenakan keuletan, ketekunan, dan ketelitiannya sehingga pekerjaan lembaga pendidikannya dapat berjalan dengan lancar. Dari masalah tersebut diatas, menurut saudara bisakah tercapai tujuan pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan ? dan sudah adilkah kebijakan pemerintah tersebut ?. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
Namun realitanya, guru-guru yang telah disertifikasi tidak jauh berbeda kinerjanya dibandingkan guru-guru non sertifikasi. bukan berarti mereka tidak mampu bekerja dengan baik, namun kemauan, motivasi, dan faktor-faktor individu lain yang mempengaruhi kinerjanya.
untuk mempertahankan tunjangan profesi, mereka hanya dibebani tugas mengajar 24 jam tatap muka agar dapat melaksanakan pengajaran dengan baik serta untuk memenuhi administrasi pembelajaran,sedangkan guru yang memiliki ketekunan yang tinggi, motivasi yang besar, serta kemauan yang besar dalam mengembangkan potensi anak didik tidak bisa mendapatkan sertifikat pendidik dikarenakan tidak lulus tes tulis pada proses sertifikasi / PLPG. 24 jam tatap muka diembannya agar bisa disertifikasi, namun se-ambreg tugas tambahan juga diberikan dikarenakan keuletan, ketekunan, dan ketelitiannya sehingga pekerjaan lembaga pendidikannya dapat berjalan dengan lancar. Dari masalah tersebut diatas, menurut saudara bisakah tercapai tujuan pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan ? dan sudah adilkah kebijakan pemerintah tersebut ?. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
Pada kenyataaannya, memang harus
diakui bahwa saat ini tingkat kualitas sumber daya manusia Indonesia sangat
mengkhawatirkan, jangankan untuk bersaing pada tingkat global, untuk tingkat
regional ASEAN saja, kita berada pada posisi di bawah Vietnam, yakni sebuah
negara yang beberapa tahun lalu berkecamuk dilanda perang saudara. Namun,
dengan dukungan political will yang kuat dari pemerintah setempat untuk
mengkampanyekan pentingnya pendidikan, dengan mengangkat tema sentral posisi
guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia, maka
dalam waktu yang relatif singkat, saat ini Vietnam telah berhasil mengangkat
posisi kualitas sumber daya manusianya di atas kita.
Suka atau tidak suka, memang harus diakui bahwa semasa rezim orde baru
yang otoriter dan sentralistik itu telah menempatkan profesi guru berada pada
posisi yang termarjinalkan dari keseluruhan sistem pembangunan. Akibatnya,
dalam pengelolaan dan pengembangan proses pembelajaran seringkali guru menjadi
miskin kreativitas, karena selalu dicekoki oleh berbagai aturan yang sangat
mengikat dan kaku. Kebebasan mengaktulisasikan diri untuk menjadi seorang
profesional terhambat dan guru hanya berperan sebagai tenaga juru belaka, yang
bertugas menyampaikan apa yang telah disajikan dari pusat dalam bentuk petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan
sampai pada tahap evaluasi sekali pun.
Terlebih lagi dengan adanya kewajiban
untuk memenuhi target-target materi kurikulum tertentu yang seringkali
menimbulkan rasa stress, baik guru maupun siswa. Demi mengejar target materi,
seringkali terjadi pemaksaan penjejalan materi kepada siswa. Mengerti atau
tidak mengerti apa yang telah disampaikan guru, menjadi urusan belakangan.Beban
lain yang harus ditanggung guru yaitu menyangkut kewajiban membuat berbagai
perangkat administrasi yang sudah terpolakan secara baku dan bermacam-macam
jenisnya. Bahkan ada persepsi bahwa guru yang baik adalah yang memiliki
administrasi lengkap. Dari sini timbul sikap pragmatis, yang penting
administrasi bagus, meskipun pada kenyataannya, antara yang tertulis dalam
administrasi dengan pelaksanaan, sesungguhnya sangat bertolak belakang.
Hal
yang mendasar dan menjadi persoalan utama guru adalah menyangkut
kesejahteraannya. Tunjangan fungsional yang diskriminatif dibandingkan dengan
profesi lain telah menimbulkan rasa cemburu di kalangan guru. Selain itu,
berbagai kasus pemotongan gaji untuk kepentingan yang tidak masuk akal
seringkali terjadi. Begitu juga, prosedur kenaikan pangkat yang berbelit-belit
dan selalu berakhir dengan pungutan-pungutan yang tidak jelas juntrungnya,
kiranya semakin melengkapi rasa frustrasi guru.
Akumulasi berbagai persoalan yang
dihadapi guru berdampak luas terhadap melemahnya kinerja guru. Guru
melaksanakan tugas semata-mata sebagai rutinitas, tanpa disertai proses kreatif
dan inovatif. Sudah bisa hadir di kelas pun di anggap cukup. Sekali-kali tidak
masuk kelas dan hanya diwakili oleh tugas yang harus dikerjakan siswa, masih
dianggapnya wajar. Pemberian evaluasi
kepada siswa berjalan seadanya, manakala hasil ulangan jeblok pun, tidak perlu
lagi usaha untuk meneliti kenapa terjadi kegagalan, apalagi berusaha mencari
pengentasannya. Bahkan berdampak pula terhadap relasi antara guru dengan siswa
yang terasa senjang. Guru tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan siswa, baik
tentang kondisi fisik, kesehatan, kesulitan, kebutuhan, minat, perasaan, kemampuan
maupun harapan-harapannya. Yang jelas, kalau ada siswa yang tidak hadir atau
ngantuk di kelas tetap akan dianggap sebagai tindakan indisipliner yang perlu
diberi sanksi.
Hubungan antara guru dan siswa yang
humanis berjalan mandeg. Tidak terbangun lagi rasa saling asah, saling asih dan
saling asuh. Oleh karenanya tidak aneh kalau banyak ditemukan siswa yang sama
sekali tidak lagi memberikan rasa hormat terhadap gurunya sendiri. Karena
keduanya sama-sama untuk mengambil sikap masa bodoh. Siswa lebih asyik mencari
kompensasi dalam bentuk tawuran atau narkoba, dan tindakan kenakalan remaja
lainnya, karena memang mereka sedang diliputi rasa frustasi yang mendalam
akibat dari kegagalan dan tak terpenuhinya berbagai kebutuhan psikisnya.
Harapan untuk menemukan jati diri, mendapatkan keterampilan, memperoleh
pengetahuan dan membangun kehidupan sama sekali tidak didapatkannya.
Fenomena yang mencerminkan carut
marutnya wajah pendidikan kita dan keterpurukan guru semacam itu harus ditebus
mahal dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia seperti sekarang ini, yang
tentunya semua itu harus segera berakhir, jika kita semua ingin menjadi bangsa
yang terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju.
Sejalan
dengan hadirnya gerakan reformasi di tengah-tengan kehidupan kita, maka
perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan sistem pendidikan harus
dilakukan, termasuk di dalamnya usaha untuk menempatkan guru sebagai kunci
utama keberhasilan pendidikan. Seyogyanya
guru diberikan otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas,
fungsi dan kewajibannya, sehingga tidak lagi harus terpaku pada pola-pola yang
dibakukan, seperti berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang
menyebabkan kreativitas guru menjadi terpasung. Guru harus didorong berbuat
lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara
baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan
demi keberhasilan para siswanya. Begitu juga, bobot penilaian dan penghargaan
kepada guru hendaknya ditekankan pada hal-hal lebih esensial dan subtansial
yaitu sejauhmana guru dapat melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan
sejauhmana guru dapat mengembangkan pola interaksi belajar yang kondusif. Jadi,
bukan hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan administratif semata.
Berbagai bentuk ganjalan yang
berkaitan dengan kesejahteraan guru hanya bisa dilakukan melalui komitmen dari
pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk menempatkan
guru sebagai profesi yang berhak mendapatkan penghargaan dan balas jasa yang
layak. Pemberian tunjangan tidak dilakukan secara diskriminatif lagi, sehingga
tidak terjadi lagi berbagai kesenjangan yang lebar, baik antara guru dengan
guru itu sendiri, guru dengan dosen, maupun guru dengan profesi lainnya.
Berbagai bentuk pemerasan terhadap
guru, dengan dalih apa pun tidak bisa dibenarkan lagi dan harus segera
dihentikan. Birokrat yang masih bermental korup sudah waktunya untuk tidak
diberi tempat lagi, karena bagaimana pun, guru saat ini sudah sanggup
menunjukkan sikap kritis dan keberaniannya untuk mengambil sikap yang terbaik
bagi dirinya.
Akhirnya, sejalan dengan upaya
pemberdayaan guru, baik dari segi kinerja maupun kesejahteraannya, maka harapan
untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi menjadi
kenyataan, yang pada gilirannya nanti akan terbentuk manusia-manusia yang
sanggup menjadi pelopor pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan memiliki
dan wawasan sanggup berkiprah secara global.
C.
PENUTUP
Guru yang profesional memiliki tingkat
berpikir abstrak yang tinggi, yaitu mampu merumuskan konsep, menangkap,
mengidentifikasi, dan memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapi dalam
tugas, dan juga memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugas.
Komitmen adalah kemauan kuat untuk melaksanakan tugas yang didasari dengan rasa
penuh tanggung jawab,profesionalisme guru.
Profesi guru adalah profesi terhormat,
namun kenyataan di lapangan saat ini masih saja mental birokrat kita belum
merobah paradigmanya, apa lagi setelah tunjangan sertifikasi itu cair, pungutan
yang berupa susutante ( sumbangan sukarela tanpa tekanan ) masih saja terjadi.
Ini artinya guru tetap termaginalkan, rasanya
Semoga dengan segala beban,tekanan
yang dialami serta hambatan dan tantangan yang dihadapi para guru di Indonesia,
guru tetap bisa survive dan jadi pemeran penting dalam pening katan sumber daya
manusia.Sukses selalu untuk para guru ! jangan menyerah dan cepat lelah !
yakinlah sekecil apapun yang kita upayakan untuk anak didik kita pasti jadi
simpanan yag berarti di Yaumil Akhir nanti.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Tafsir, Dr., (1992), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung :
PT.Remaja Rosdakarya.
Ali
Saifullah HA, Drs., (1981), Antara Filsafat dan Pendidikan : Pengantar Filsafat
Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional.
Andreas
Harefa., (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta : PT.Kompas.
Direktorat
Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal. Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2007
Hasan
Langgulung, Prof., Dr., (1986), Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa
Psikologi dan Pendidikan, Jakarta : Pustaka Al-Husna.
Idochi
Anwar, Prof.,Dr., & Yayat Hidayat Amir, Drs., M.Pd., (2000), Administrasi
Pendidikan : Teori, Konsep & Issue, Bandung : Program Pasca Sarjana UPI
Bandung.
Ismaun,
Prof.,Dr., (2001), Filsafat Ilmu : Diktat Kuliah Bandung : Program Pasca
Sarjana UPI Bandung.
Modul
BERMUTU 2011.
Akses
Internet 3 April 2012.
JURNAL BELAJAR PESERTA DIDIK
4/30/2012 02:44:00 PM
mgmpmatsanggar10
No comments
JURNAL BELAJAR PESERTA DIDIK
NAMA SISWA : Ernawati
KELAS / SEMESTER : VIII A ( Semester Genap )
SEKOLAH :
SMP NEGERI 2 KISMANTORO
TAHUN PELAJARAN : 2011 / 2012
JURNAL
BELAJAR
|
|
Pengalaman
belajar
|
Pada hari ini saya senang
belajar matematika karena diajak menggambar dua lingkaran dengan panjang
jari-jari tidak sama dan jarak pusat ditentukan,.kemudian dihubungkan dengan
garis yang menyinggung bagian dalam dan luar.oleh bu guru saya di suruh
mengukur panjang kedua garis singgung tadi dan hasilnya berbeda.Ini merupakan
pengalaman baru yang belum pernah saya dapatkan waktu di SD.
|
Materi yang
telah dipahami
|
Sekarang
saya paham bagaimana mancari panjang garis singgung persekutuan luar dan
dalam.
|
Materi yang
belum dipahami dengan menyebutkan alasan dan kendalanya.
|
Saya belum
bisa menghitung panjang salah satu jari-jari jika diketahui jarak pusat
lingkaran, panjang garis singgung dan jari-jari yang lain dari dua lingkaran.tanpa
digambar lebih dahulu.
|
Usaha / cara untuk mengatasi
|
Karena saya
tidak bisa mengitung panjang salah satu jari-jari lingkaran bentuk soal
cerita.untuk mengarasi saya bertanya kepada teman yang sudah bisa.
|
Jurnal Belajar Peserta Didik
4/30/2012 09:15:00 AM
mgmpmatsanggar10
1 comment
JURNAL
BELAJAR PESERTA DIDIK
Nama : Laela Retna Wulandari
Kelas/ Smt : VII B/2
Sekolah : SMPN 4 PURWANTORO
Tahun Pelajaran : 2011/2012
Materi
|
Bangun Datar Segiempat
|
Pengalaman Belajar
|
Hari ini saya belajar tentang cara mencari keliling dan luas bangun
datar segiempat
|
Materi yang telah dipahami
|
Cara menentukan keliling dan luas persegi dan persegi panjang
|
Materi yang belum dipahami beserta alasannya
|
Cara menentukan luas persegi panjang jika ukurannya menggunakan bentuk
aljabar, misal panjang suatu persegi panjang 5 cm lebihnya dari lebarnya.
Saya masih kesulitan membuat model matematikanya berdasarkan soal.
|
Usaha atau cara untuk mengatasi kesulitan
|
Saya bertanya pada teman yang pandai di kelas, karena saya malu
bertanya pada guru. Dirumah saya juga belajar kelompok dengan teman yang
kebetulan tidak 1 kelas.
|
( ALFI
NUR HIDAYAH, S.Pd, SMP N 4 Purwantoro)
NILAI STRATEGIS UJIAN NASIONAL (UN)
4/30/2012 03:01:00 AM
mgmpmatsanggar10
1 comment
NILAI STRATEGIS
UJIAN NASIONAL (UN)
OLEH :
ICHSANUDIN, S. Pd., M. Pd
NIP. 19710331 199802 1
003
Guru Matematika SMP N 2 Purwantoro
1.
PENDAHULUAN
Artikel ini mengambil judul “ Nilai Strategis Ujian
Nasional (UN)” yang dimuat dalam Media Komunikasi Edukasi Informasi PPPPTK
Matematika Yogyakarta Edisi Nomor 23, Agustus 2009 yang ditulis oleh Kusaeri
seorang Staf pengajar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sekolah Tinggi Teknik (STTQ)
Gresik dan Universitas Islam Malang (UNISMA).
Penulis mengambil artikel ini karena Nilai Ujian
Nasional selama ini merupakan momok bagi siswa Sekolah Menengah Baik Menengah
Pertama (SMP) maupun Menengah Atas (SMA). Hal ini karena nilai UN sebagai tolok
ukur atau salah satu penentu kelulusan selama 3 tahun mereka belajar di sekolah
menengah. Setiap sekolah dari jauh- jauh hari sebelum pelaksanaan UN telah
mempersiapkan siswa-siswanya dengan memberikan tambahan jam pelajaran (les) dan
melakukan penjajakan melalui tes uji coba atau dikenal dengan try out yang
dilakukan beberapa kali untuk mengetahui
kesiapan siswa dalam mengahadapi Ujian Nasional.
Dalam media massa maupun berita sering kita
mendengar bahwa pelaksanaan Ujian Nasional selama ini sering terjadi kecurangan
dengan adanya kebocoran soal maupun beredarnya kunci jawaban yang dilakukan
oleh seorang oknum guru. Hal inilah yang menarik perhatian bagi kami kenapa hal
ini terjadi, sebenarnya ujian nasional ini bertujuan baik harus dinodai dengan
adanya ketidakjujuran maupun kecurangan.
2.
RANGKUMAN
Sistem
penilaian yang baik tergantung pada jenis penilaian yang sesuai dengan mudah
dipahami oleh orang yang membutuhkan. Disamping keputusan hasil penilaian dapat
digunakan untuk memaksimalkan potensi siswa dalam pembelajaran. Drake (2007)
membagi penilaian kedalam 3 kelompok, yakni Assessment For Learning (AFL),
Assessment Of learning (AOL) dan Assessment As Learning (AAL).
Ujian
Nasional / UASBN memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan penilaian yang
seharusnya dilakukan oleh guru. Bila dicermati UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 pasal
57 tentang peran evaluasi yang menyebutkan bahwa evaluasi dilaksanakan dalam
rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk
akuntabilitas peyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Yang diperkuat dengan Permendiknas N0 78 tahun 2008 pasal 2 UN bertujuan
menilai pencapaian kompetensi lulusan
secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan tehnologi. Wajarlah jika pemerintah masih
menyelenggarakan UN karena mengukur sejauh mana tingkat pencapaian Standar
Kompetensi Kelulusan (SKL) bagi satuan pendidikan yang bersangkutan. UN juga
perlu dilakukan mengingat kualitas sekolah yang satu dengan yang lain amat
beragam.
Disisi
lain munculnya Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) sejak tahun 2006
telah memunculkan pemahaman yang beragam dan banyak orang mengatakan “Apakah
dengan diberlakukannya KTSP maka UN masih diperlukan” ? jawaban sederhana bila
dalam KTSP masing-masing sekolah diberikan kebebasan mengembangkan soal ujian
untuk siswanya, maka sangatlah logis jika mereka akan menyusun soal yang
membuat siswanya semua lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Disinilah UN
sebagai tolok ukur yang bisa digunakan sebagai benchmarking tatkala
marginalitas kemampuan antar sekolah yang beragam antara satu sekolah dengan
sekolah yang lain. Hasil UN setidaknya dapat digunakan untuk memetakan
bagaimana capaian siswa, sekolah, atau daerah tertentu pada standar nasional
yang dipersyaratkan.
Target
Depdiknas menjadikan UN SMA dan Madrasah Aliyah sebagai bahan pertimbangan
dalam penerimaan mahasiswa baru di PTN di tahun 2012 tidak akan mudah. PTN menilai pelaksanaan UN
masih butuh pembenahan serius agar lebih
kredibel. Kecurangan dan ketidakjujuran yang dilakukan Kepala Sekolah dan guru
masih sering terungkap setiap dilaksanakan UN. Bahkan 33 sekolah di Indonesia
diidentifikasi melakukan kecurangan secara sistematik sehingga harus melakukan
UN pengganti. Dengan penentuan standar kelulusan yang dinaikkan cenderung
memicu terjadinya beragam kecurangan secara sistematik tersebut. Keberhasilan
lulus UN 100% seringkali menjadi target kepala daerah dan hal ini berdampak
pada penekanan para guru, kepala sekolah dan dinas pendidikan.
Sudah
waktunya kedepan pola kebijakan UN dapat meniru pola UASBN yang sudah berjalan
3 tahhun. Artinya hasil UN tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa
tetapilebih merupakan pemetaan mutu program atau satuan pendidikan. Dengan
demikian beragam kecurangan dalam UN yang seringkali terjadi dapat
diminimalisir seperti halnya sepinya kecurangan yang terjadi pada UASBN yang tidak
pernah kita dengar. Dengan mengubah pola kebijakan UN meniru UASBN maka hasil
UN semakin dapat dijadikan dasar pembinaan serta pemberian bantuan kepada
satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan
masih suburnya kecurangan dan ketidajujuran UN maka semakin tipislah harapan
Depdiknas meyakinkan pimpinan PTN agar hasil UN menjadi dasar seleksi masuk PTN
pada tahun 2012. Dalam konteks ini kita perlu merenung dan melakukan refleksi,
tujuan dicapai dengan menghalalkan segala cara. Generasi penerus bangsa diajari
berbangga pada hasil, walaupun proses untuk mendapatkannya penuh kecurangan dan
ketidakjujuran. Legalitas ketidakjujuran lambatlaun menjadi etos kerja,
tercermin melalui komitmen pribadi kaum pendidik hanya memerlukan keahlian atau
ketrampilan saja, komitmen moral dinomorduakan. Usaha untuk melakukan pemetaan
kwalitas pendidikan berdasarkan hasil UN menjadi lebih semu. Sekolah jelek
mutunya dianggap bagus. Kalau boleh berharap dunia pendidikan seyogyanya jangan
disusupioleh mentalitas mafia. Sudah saatnya kebikjakan Un yang tidak lagi
mengedepankan standar kelulusan secara seragam, mungkin pola UASBN dapat
mengganti pola UN yang digunakan selama ini agar kehancuran bangsa Indonesia di
masa yang akan datang tidak tejadi. Dengan demikian maka UN akan memiliki makna
strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia.
3.
KRITIK.
Secara pribadi saya sebagai tenaga pendidik
menyetujui dengan adanya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional,
tetapi nilai UN jangan dijadikan satu-satunya patokan atau nilai penentu
kelulusan siswa karena sering terjadi bahwa siswa yang sehari-hari termasuk
siswa yang pandai kadang terjadi pada nilai UN tidak berhasil. Hal ini bisa
terjadi saat mengerjakan UN siswa bisa di pengaruhi faktor-faktor tertentu,
misalnya kesehatan, psykologi yang pada saat itu kurang baik sehingga
menyebabkan siswa tidak berhasil dalam mengerjakan UN. Kebijakan UN tidak
memenuhi asumsi tentang adanya praktek kepemimpinan dan pengambilan keputusan
yang melibatkan komunitas sekaolah yaitu siswa, guru, kepala sekolah dan
masyarakat. Banyak kasus reformasi pendidikan baik di negara barkembang maupun
dinegara maju yang tidak melibatkan komunitas sekolah dalam proses pengambilan
keputusannya berakibat kegagalan. Saya
mempunyai pendapat jika UN yang selama ini berjalan tetap masih diadakan tetapi
dengan mempertimbangkan nilai pelajaran yang lain dan nilai rapot selama 3 tahun siswa belajar di sekolah terutama
bagi sekolah menengah sehingga lulus tidaknya siswa tidak hanya ditentukan oleh
nilai UN saja.
Dengan adanya team independen yang diterjunkan ke
sekolah-sekolah oleh pemerintah sebenarnya merupakan usaha untuk meminimalkan
terjadi kecurangan dalam pelaksanaan UN. Sebagai tenaga pendidik yang
profesional marilah kita bersama-sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan
indonesia ini dengan bekerja dengan jujur dan bertanggung jawab, janganlah kita
dijadikan alat untuk kepentingan politik atasan maupun pemerintah daerah untuk
mencari nama baik dengan mengorbankan harga diri kita sebagai insan cendekia.
Bagi tenaga pendidik yang masihmelakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN itu
mencerminkan pribadi yang tidak profesional, karena guru mempunyai empat
kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional.
Dalam kompetensi yang dimiliki guru salah satunya disebutkan guru menampilkan
diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta
didik dan masyrakat.
Tentang
kebijakan Mendiknas nilai UN sebagai bahan pertimbangan dalam selesksi masuk
Perguruan Tinggi pada tahun 2012. Rencana intrgrasi UN-SNMPTN jangan-jangan
hanya kebijakan dadakan untuk meredam hingar bingar protes pengamat dan
praktisi pendidikan terhadap kebijakan UN. Jika kebijakan ini benar adanya
seyogyanya Mendiknas akan memiliki team terlebih dahulu yang akan bekerja
mencari fakta-fakta strategis tentang relasi UN dengan kapasitas guru dan orang
tua serta pihak Perguruan Tinggi terhadap calon mahasiswa yang akan masuk
Perguruan Tinggi. Kebijakan kurikulum yang tidak memiliki relasi dengan
kebijakan UN dengan model kurikulum yang dikembangkan di Perguruan Tinggi, maka
perlu adanya kebijakan untuk memperbaiki seluruh proses pembelajaran pada
tingkat kelas dan kegiatan pendukung lainnya pada lingkungan sekolah. Serta
belum meratanya kualitas antarsekolah, baik kapasitas guru, kemampuan dukungan
orangtua, maupun finansial dan
kepedulian pemerintah daerah dalam mengatasi masalah pendidikan didaerah
masing-masing.
4.
SIMPULAN.
UN
sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional masih perlu dilaksanakan,
tetapi nilai UN tidak sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Dalam
menentukan kelulusan siswa perlu mempertimbangkan komunitas sekolah yang
terdiri dari siswa, guru, kapala sekolah dan masyarakat, banyak rafomasi
pendidikan yang tidak memperhatikan komunitas sekolah dalam pengambilan
keputusan berakibat kegagalan. Terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN yang
sering terjadi sebenarnya hanya sebagai koraban dari kepentingan politik
pihak-pihak tertentu, sehingga guru atau tenaga pendidik yang masih mau
melakukan kecurangan merupakan guru yang belum profesional karena belum
mencerminkan kompetensi kepribadian yang
jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Kebijakan
integrasi nlai UN – SNMPTN perlu dipertimbangkan kembali oleh Mendiknas
mengingat Kebijakan kurikulum yang tidak memiliki relasi dengan kebijakan UN
dengan model kurikulum yang dikembangkan di Perguruan Tinggi dan belum
meratanya kualitas antarsekolah, baik kapasitas guru, kemampuan dukungan orangtua,
maupun finansial dan kepedulian
pemerintah daerah dalam mengatasi masalah pendidikan didaerah
masing-masing.
5.
REFERENSI
Ahmad
Baedowi, 2009. Artikel” Menimbang Kebijakan integrasi UN-SNMPTN”
Opini
Media Indonesia : Jakarta
Idris
Harta, 2010. Pedagogik Khusus Bidang Studi Matematika. Depdiknas UMS
FKIP-UMS:
Surakarta.