Senin, 30 April 2012

Contoh SIlabus

KAJIAN KRITIS TERHADAP SERTIFIKASI GURU

KAJIAN KRITIS TERHADAP SERTIFIKASI GURU

 Tri Hastuti Winarsih, S.Pd
NIP. 19690601 200003 2 003

GURU MATEMATIKA SMPN 4 PURWANTORO



A.    PENDAHULUAN
        Istilah profesionalisme guru tentu bukan sesuatu yang asing dalam dunia pendidikan. Secara sederhana, profesional berasal dari kata profesi yang berarti jabatan. Orang yang profesional adalah orang yang mampu melaksanakan tugas jabatannya secara mumpuni, baik secara konseptual maupun aplikatif. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan mumpuni dalam melaksanakan tugas jabatan guru. Bila ditinjau secara lebih dalam, terdapat beberapa karakteristik profesionalisme guru. Rebore (1991) mengemukakan enam karakteristik profesionalisme guru, yaitu: (1) pemahaman dan penerimaan dalam melaksanakan tugas, (2) kemauan melakukan kerja sama secara efektif dengan siswa, guru, orang tua siswa, dan masyarakat, (3) kemampuan mengembangkan visi dan pertumbuhan jabatan secara terus menerus, (4) mengutamakan pelayanan dalam tugas, (5) mengarahkan, menekan dan menumbuhkan pola perilaku siswa, serta (6) melaksanakan kode etik jabatan.
        Guru yang profesional memiliki tingkat berpikir abstrak yang tinggi, yaitu mampu merumuskan konsep, menangkap, mengidentifikasi, dan memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapi dalam tugas, dan juga memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Komitmen adalah kemauan kuat untuk melaksanakan tugas yang didasari dengan rasa penuh tanggung jawab,profesionalisme guru dapat dicapai bila guru ahli (expert) dalam melakasnakan tugas, dan selalu mengembangkan diri (growth). Glatthorm (1990) mengemukakan bahwa dalam melihat profesionalisme guru, disamping kemampuan dalam melaksanakan tugas, juga perlu mempertimbangkan aspek komitmen dan tanggung jawab (responsibility), serta kemandirian (autonomy).Membicarakan tentang profesionalisme guru, tentu tidak bisa dilepaskan dari kegiatan pengembangan profesi guru itu sendiri. Secara garis besarnya, kegiatan pengembangan profesi guru dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) pengembangan intensif (intensive development), (2) pengembangan kooperatif (cooperative development), dan (3) pengembangan mandiri (self directed development).
         Pada saat yang bersamaan, kita pun saat ini sedang dihadapkan dengan era otonomi daerah, yaitu sebuah paradigma baru dari sistem pemerintahan, yang semula bersifat otoriter-sentralistik menuju ke arah demokratik-desentralistik. Sebagai paradigma baru, tentunya akan mempunyai implikasi yang sangat luas pula terhadap tatanan kehidupan. Berbagai persoalan akan muncul, baik yang bersifat tantangan maupun hambatan. Dengan kewenangan yang luas, daerah seyogyanya lebih mampu untuk memberdayakan diri dan memacu partisipasi masyarakatnya dalam berbagai kegiatan pembangunan, sehingga pada gilirannya benar-benar akan dapat terwujud berbagai kemajuan yang signifikan.
        Dari sini timbul pertanyaan, bagaimanakah agar kita benar-benar dapat survive dan eksis guna menghadapi kedua tantangan zaman tersebut. Tak lain jawabannya, kualitas sumber daya manusia ! Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi amat penting karena hanya dengan sentuhan manusia-manusia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, keterampilan yang handal dan sikap moral yang tinggi, maka berbagai persoalan yang muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya era globalisasi dan era otononomi daerah sangat diyakini akan bisa terjawab. Oleh karena itu, gerakan usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya menjadi komitmen seluruh komponen bangsa. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.

B.     ISI
·         Profesionalisme Guru menurut Kepala Sub Direktorat Jendral Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
            Membicarakan tentang profesionalisme guru, tentu tidak bisa dilepaskan dari kegiatan pengembangan profesi guru itu sendiri. Secara garis besarnya, kegiatan pengembangan profesi guru dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: Pengembangan intensif (intensive development) adalah bentuk pengembangan yang dilakukan pimpinan terhadap guru yang dilakukan secara intensif berdasarkan kebutuhan guru. Model ini biasanya dilakukan melalui langkah-langkah yang sistematis, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi dan pertemuan balikan atau refleksi. Teknik pengembangan yang digunakan antara lain melalui pelatihan, penataran, kursus, loka karya, dan sejenisnya.
            Pengembangan kooperatif (cooperative development) adalah suatu bentuk pengembangan guru yang dilakukan melalui kerja sama dengan teman sejawat dalam suatu tim yang bekerja sama secara sistematis. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan profesional guru melalui pemberian masukan, saran, nasehat, atau bantuan teman sejawat. Teknik pengembangan yang digunakan bisa melalui pertemuan KKG atau  MGMP/MGBK. Teknik ini disebut juga dengan istilah peer supervision atau collaborative supervision.
          Pengembangan mandiri (self directed development) adalah bentuk pengembangan yang dilakukan melalui pengembangan diri sendiri. Bentuk ini memberikan otonomi secara luas kepada guru. Guru berusaha untuk merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan, dan menganalisis balikan untuk pengembangan diri sendiri. Teknik yang digunakan bisa melalui evaluasi diri (self evaluation) atau penelitian tindakan (action research).
         Rasanya tak perlu malu, kalau kita belajar menimba pengalaman dari keberhasilan Vietnam dalam membangun sumber daya manusianya, yakni dengan berusaha menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan, dengan tema sentral yang sama yakni guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia. Memang, berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang telah membuktikan bahwa guru memberikan kontribusi tertinggi dalam pencapaian prestasi belajar (36%), kemudian disusul manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%), sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Dikdasmen pada acara Dies Natalis XVI Universitas Terbuka.
·         Profesionalisme Guru menurut pengkaji
             Nasib bangsa Indonesia 10 tahun yang akan datang ditentukan oleh Sistem Pendidikan dan Para Pendidik saat ini. makanya pemerintah tidak mudah menyerahkan tugas pengajaran dan pendidikan kepada sembarang guru, melainkan harus memiliki sertifikat pendidik melalui proses sertifikasi.
              Namun realitanya, guru-guru yang telah disertifikasi tidak jauh berbeda kinerjanya dibandingkan guru-guru non sertifikasi. bukan berarti mereka tidak mampu bekerja dengan baik, namun kemauan, motivasi, dan faktor-faktor individu lain yang mempengaruhi kinerjanya.
untuk mempertahankan tunjangan profesi, mereka hanya dibebani tugas mengajar 24 jam tatap muka agar dapat melaksanakan pengajaran dengan baik serta untuk memenuhi administrasi pembelajaran,sedangkan guru yang memiliki ketekunan yang tinggi, motivasi yang besar, serta kemauan yang besar dalam mengembangkan potensi anak didik tidak bisa mendapatkan sertifikat pendidik dikarenakan tidak lulus tes tulis pada proses sertifikasi / PLPG. 24 jam tatap muka diembannya agar bisa disertifikasi, namun se-ambreg tugas tambahan juga diberikan dikarenakan keuletan, ketekunan, dan ketelitiannya sehingga pekerjaan lembaga pendidikannya dapat berjalan dengan lancar. Dari masalah tersebut diatas, menurut saudara bisakah tercapai tujuan pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan ? dan sudah adilkah kebijakan pemerintah tersebut ?. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
           Pada kenyataaannya, memang harus diakui bahwa saat ini tingkat kualitas sumber daya manusia Indonesia sangat mengkhawatirkan, jangankan untuk bersaing pada tingkat global, untuk tingkat regional ASEAN saja, kita berada pada posisi di bawah Vietnam, yakni sebuah negara yang beberapa tahun lalu berkecamuk dilanda perang saudara. Namun, dengan dukungan political will yang kuat dari pemerintah setempat untuk mengkampanyekan pentingnya pendidikan, dengan mengangkat tema sentral posisi guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia, maka dalam waktu yang relatif singkat, saat ini Vietnam telah berhasil mengangkat posisi kualitas sumber daya manusianya di atas kita.
                 Suka atau tidak suka, memang harus diakui bahwa semasa rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik itu telah menempatkan profesi guru berada pada posisi yang termarjinalkan dari keseluruhan sistem pembangunan. Akibatnya, dalam pengelolaan dan pengembangan proses pembelajaran seringkali guru menjadi miskin kreativitas, karena selalu dicekoki oleh berbagai aturan yang sangat mengikat dan kaku. Kebebasan mengaktulisasikan diri untuk menjadi seorang profesional terhambat dan guru hanya berperan sebagai tenaga juru belaka, yang bertugas menyampaikan apa yang telah disajikan dari pusat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi sekali pun.
        Terlebih lagi dengan adanya kewajiban untuk memenuhi target-target materi kurikulum tertentu yang seringkali menimbulkan rasa stress, baik guru maupun siswa. Demi mengejar target materi, seringkali terjadi pemaksaan penjejalan materi kepada siswa. Mengerti atau tidak mengerti apa yang telah disampaikan guru, menjadi urusan belakangan.Beban lain yang harus ditanggung guru yaitu menyangkut kewajiban membuat berbagai perangkat administrasi yang sudah terpolakan secara baku dan bermacam-macam jenisnya. Bahkan ada persepsi bahwa guru yang baik adalah yang memiliki administrasi lengkap. Dari sini timbul sikap pragmatis, yang penting administrasi bagus, meskipun pada kenyataannya, antara yang tertulis dalam administrasi dengan pelaksanaan, sesungguhnya sangat bertolak belakang.
        Hal yang mendasar dan menjadi persoalan utama guru adalah menyangkut kesejahteraannya. Tunjangan fungsional yang diskriminatif dibandingkan dengan profesi lain telah menimbulkan rasa cemburu di kalangan guru. Selain itu, berbagai kasus pemotongan gaji untuk kepentingan yang tidak masuk akal seringkali terjadi. Begitu juga, prosedur kenaikan pangkat yang berbelit-belit dan selalu berakhir dengan pungutan-pungutan yang tidak jelas juntrungnya, kiranya semakin melengkapi rasa frustrasi guru.
      Akumulasi berbagai persoalan yang dihadapi guru berdampak luas terhadap melemahnya kinerja guru. Guru melaksanakan tugas semata-mata sebagai rutinitas, tanpa disertai proses kreatif dan inovatif. Sudah bisa hadir di kelas pun di anggap cukup. Sekali-kali tidak masuk kelas dan hanya diwakili oleh tugas yang harus dikerjakan siswa, masih dianggapnya wajar.     Pemberian evaluasi kepada siswa berjalan seadanya, manakala hasil ulangan jeblok pun, tidak perlu lagi usaha untuk meneliti kenapa terjadi kegagalan, apalagi berusaha mencari pengentasannya. Bahkan berdampak pula terhadap relasi antara guru dengan siswa yang terasa senjang. Guru tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan siswa, baik tentang kondisi fisik, kesehatan, kesulitan, kebutuhan, minat, perasaan, kemampuan maupun harapan-harapannya. Yang jelas, kalau ada siswa yang tidak hadir atau ngantuk di kelas tetap akan dianggap sebagai tindakan indisipliner yang perlu diberi sanksi.
         Hubungan antara guru dan siswa yang humanis berjalan mandeg. Tidak terbangun lagi rasa saling asah, saling asih dan saling asuh. Oleh karenanya tidak aneh kalau banyak ditemukan siswa yang sama sekali tidak lagi memberikan rasa hormat terhadap gurunya sendiri. Karena keduanya sama-sama untuk mengambil sikap masa bodoh. Siswa lebih asyik mencari kompensasi dalam bentuk tawuran atau narkoba, dan tindakan kenakalan remaja lainnya, karena memang mereka sedang diliputi rasa frustasi yang mendalam akibat dari kegagalan dan tak terpenuhinya berbagai kebutuhan psikisnya. Harapan untuk menemukan jati diri, mendapatkan keterampilan, memperoleh pengetahuan dan membangun kehidupan sama sekali tidak didapatkannya.
         Fenomena yang mencerminkan carut marutnya wajah pendidikan kita dan keterpurukan guru semacam itu harus ditebus mahal dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia seperti sekarang ini, yang tentunya semua itu harus segera berakhir, jika kita semua ingin menjadi bangsa yang terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju.
Sejalan dengan hadirnya gerakan reformasi di tengah-tengan kehidupan kita, maka perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan sistem pendidikan harus dilakukan, termasuk di dalamnya usaha untuk menempatkan guru sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan.    Seyogyanya guru diberikan otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas, fungsi dan kewajibannya, sehingga tidak lagi harus terpaku pada pola-pola yang dibakukan, seperti berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menyebabkan kreativitas guru menjadi terpasung. Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para siswanya. Begitu juga, bobot penilaian dan penghargaan kepada guru hendaknya ditekankan pada hal-hal lebih esensial dan subtansial yaitu sejauhmana guru dapat melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan sejauhmana guru dapat mengembangkan pola interaksi belajar yang kondusif. Jadi, bukan hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan administratif semata.
            Berbagai bentuk ganjalan yang berkaitan dengan kesejahteraan guru hanya bisa dilakukan melalui komitmen dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk menempatkan guru sebagai profesi yang berhak mendapatkan penghargaan dan balas jasa yang layak. Pemberian tunjangan tidak dilakukan secara diskriminatif lagi, sehingga tidak terjadi lagi berbagai kesenjangan yang lebar, baik antara guru dengan guru itu sendiri, guru dengan dosen, maupun guru dengan profesi lainnya.
        Berbagai bentuk pemerasan terhadap guru, dengan dalih apa pun tidak bisa dibenarkan lagi dan harus segera dihentikan. Birokrat yang masih bermental korup sudah waktunya untuk tidak diberi tempat lagi, karena bagaimana pun, guru saat ini sudah sanggup menunjukkan sikap kritis dan keberaniannya untuk mengambil sikap yang terbaik bagi dirinya.
        Akhirnya, sejalan dengan upaya pemberdayaan guru, baik dari segi kinerja maupun kesejahteraannya, maka harapan untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi menjadi kenyataan, yang pada gilirannya nanti akan terbentuk manusia-manusia yang sanggup menjadi pelopor pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan memiliki dan wawasan sanggup berkiprah secara global.
C.    PENUTUP
        Guru yang profesional memiliki tingkat berpikir abstrak yang tinggi, yaitu mampu merumuskan konsep, menangkap, mengidentifikasi, dan memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapi dalam tugas, dan juga memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Komitmen adalah kemauan kuat untuk melaksanakan tugas yang didasari dengan rasa penuh tanggung jawab,profesionalisme guru.
         Profesi guru adalah profesi terhormat, namun kenyataan di lapangan saat ini masih saja mental birokrat kita belum merobah paradigmanya, apa lagi setelah tunjangan sertifikasi itu cair, pungutan yang berupa susutante ( sumbangan sukarela tanpa tekanan ) masih saja terjadi. Ini artinya guru tetap termaginalkan, rasanya
           Semoga dengan segala beban,tekanan yang dialami serta hambatan dan tantangan yang dihadapi para guru di Indonesia, guru tetap bisa survive dan jadi pemeran penting dalam pening katan sumber daya manusia.Sukses selalu untuk para guru ! jangan menyerah dan cepat lelah ! yakinlah sekecil apapun yang kita upayakan untuk anak didik kita pasti jadi simpanan yag berarti di Yaumil Akhir nanti.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Dr., (1992), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.
Ali Saifullah HA, Drs., (1981), Antara Filsafat dan Pendidikan : Pengantar Filsafat Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional.
Andreas Harefa., (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta : PT.Kompas.
Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal. Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2007
Hasan Langgulung, Prof., Dr., (1986), Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta : Pustaka Al-Husna.
Idochi Anwar, Prof.,Dr., & Yayat Hidayat Amir, Drs., M.Pd., (2000), Administrasi Pendidikan : Teori, Konsep & Issue, Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.
Ismaun, Prof.,Dr., (2001), Filsafat Ilmu : Diktat Kuliah Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.
Modul BERMUTU 2011.
Akses Internet 3 April 2012.

JURNAL BELAJAR PESERTA DIDIK

JURNAL BELAJAR PESERTA DIDIK

NAMA SISWA                      : Ernawati
KELAS / SEMESTER           : VIII A ( Semester Genap )
SEKOLAH                             : SMP NEGERI 2 KISMANTORO
TAHUN PELAJARAN         : 2011 / 2012


JURNAL BELAJAR
Pengalaman belajar
Pada hari ini saya senang belajar matematika karena diajak menggambar dua lingkaran dengan panjang jari-jari tidak sama dan jarak pusat ditentukan,.kemudian dihubungkan dengan garis yang menyinggung bagian dalam dan luar.oleh bu guru saya di suruh mengukur panjang kedua garis singgung tadi dan hasilnya berbeda.Ini merupakan pengalaman baru yang belum pernah saya dapatkan waktu di SD.

Materi yang telah dipahami
Sekarang saya paham bagaimana mancari panjang garis singgung persekutuan luar dan dalam.
Materi yang belum dipahami dengan menyebutkan alasan dan kendalanya.
Saya belum bisa menghitung panjang salah satu jari-jari jika diketahui jarak pusat lingkaran, panjang garis singgung dan jari-jari yang lain dari dua lingkaran.tanpa digambar lebih dahulu.
 Usaha / cara untuk mengatasi
Karena saya tidak bisa mengitung panjang salah satu jari-jari lingkaran bentuk soal cerita.untuk mengarasi saya bertanya kepada teman yang sudah bisa.
                                                       

 (  Dra Semi Pajar Wahyuni, Guru SMP N 2 Kismantoro )




Menggambar Diagram Venn

ICHSANUDIN, S.Pd, M.Pd
NIP.19710331 199802 1 003
SMP Negeri 2 Purwantoro

Jurnal Belajar Peserta Didik

JURNAL BELAJAR PESERTA DIDIK

Nama                  : Laela Retna Wulandari
Kelas/ Smt          : VII B/2
Sekolah               : SMPN 4 PURWANTORO
Tahun Pelajaran   : 2011/2012

Materi
Bangun Datar Segiempat
Pengalaman Belajar
Hari ini saya belajar tentang cara mencari keliling dan luas bangun datar segiempat

Materi yang telah dipahami
Cara menentukan keliling dan luas persegi dan persegi panjang


Materi yang belum dipahami beserta alasannya
Cara menentukan luas persegi panjang jika ukurannya menggunakan bentuk aljabar, misal panjang suatu persegi panjang 5 cm lebihnya dari lebarnya. Saya masih kesulitan membuat model matematikanya berdasarkan soal.

Usaha atau cara untuk mengatasi kesulitan
Saya bertanya pada teman yang pandai di kelas, karena saya malu bertanya pada guru. Dirumah saya juga belajar kelompok dengan teman yang kebetulan tidak 1 kelas.



( ALFI NUR HIDAYAH, S.Pd, SMP N 4 Purwantoro)


NILAI STRATEGIS UJIAN NASIONAL (UN)

NILAI STRATEGIS UJIAN NASIONAL (UN)

OLEH : ICHSANUDIN, S. Pd., M. Pd
NIP. 19710331 199802 1 003
Guru Matematika SMP N 2 Purwantoro

1.        PENDAHULUAN
Artikel ini mengambil judul “ Nilai Strategis Ujian Nasional (UN)” yang dimuat dalam Media Komunikasi Edukasi Informasi PPPPTK Matematika Yogyakarta Edisi Nomor 23, Agustus 2009 yang ditulis oleh Kusaeri seorang Staf pengajar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sekolah Tinggi Teknik (STTQ) Gresik dan Universitas Islam Malang (UNISMA).
Penulis mengambil artikel ini karena Nilai Ujian Nasional selama ini merupakan momok bagi siswa Sekolah Menengah Baik Menengah Pertama (SMP) maupun Menengah Atas (SMA). Hal ini karena nilai UN sebagai tolok ukur atau salah satu penentu kelulusan selama 3 tahun mereka belajar di sekolah menengah. Setiap sekolah dari jauh- jauh hari sebelum pelaksanaan UN telah mempersiapkan siswa-siswanya dengan memberikan tambahan jam pelajaran (les) dan melakukan penjajakan melalui tes uji coba atau dikenal dengan try out yang dilakukan beberapa kali  untuk mengetahui kesiapan siswa dalam mengahadapi Ujian Nasional.
Dalam media massa maupun berita sering kita mendengar bahwa pelaksanaan Ujian Nasional selama ini sering terjadi kecurangan dengan adanya kebocoran soal maupun beredarnya kunci jawaban yang dilakukan oleh seorang oknum guru. Hal inilah yang menarik perhatian bagi kami kenapa hal ini terjadi, sebenarnya ujian nasional ini bertujuan baik harus dinodai dengan adanya ketidakjujuran maupun kecurangan.

2.        RANGKUMAN
Sistem penilaian yang baik tergantung pada jenis penilaian yang sesuai dengan mudah dipahami oleh orang yang membutuhkan. Disamping keputusan hasil penilaian dapat digunakan untuk memaksimalkan potensi siswa dalam pembelajaran. Drake (2007) membagi penilaian kedalam 3 kelompok, yakni Assessment For Learning (AFL), Assessment Of learning (AOL) dan Assessment As Learning (AAL).
Ujian Nasional / UASBN memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan penilaian yang seharusnya dilakukan oleh guru. Bila dicermati UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 pasal 57 tentang peran evaluasi yang menyebutkan bahwa evaluasi dilaksanakan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas peyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Yang diperkuat dengan Permendiknas N0 78 tahun 2008 pasal 2 UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan  secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan tehnologi. Wajarlah jika pemerintah masih menyelenggarakan UN karena mengukur sejauh mana tingkat pencapaian Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) bagi satuan pendidikan yang bersangkutan. UN juga perlu dilakukan mengingat kualitas sekolah yang satu dengan yang lain amat beragam.
Disisi lain munculnya Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) sejak tahun 2006 telah memunculkan pemahaman yang beragam dan banyak orang mengatakan “Apakah dengan diberlakukannya KTSP maka UN masih diperlukan” ? jawaban sederhana bila dalam KTSP masing-masing sekolah diberikan kebebasan mengembangkan soal ujian untuk siswanya, maka sangatlah logis jika mereka akan menyusun soal yang membuat siswanya semua lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Disinilah UN sebagai tolok ukur yang bisa digunakan sebagai benchmarking tatkala marginalitas kemampuan antar sekolah yang beragam antara satu sekolah dengan sekolah yang lain. Hasil UN setidaknya dapat digunakan untuk memetakan bagaimana capaian siswa, sekolah, atau daerah tertentu pada standar nasional yang dipersyaratkan.
Target Depdiknas menjadikan UN SMA dan Madrasah Aliyah sebagai bahan pertimbangan dalam penerimaan mahasiswa baru di PTN di tahun 2012  tidak akan mudah. PTN menilai pelaksanaan UN masih  butuh pembenahan serius agar lebih kredibel. Kecurangan dan ketidakjujuran yang dilakukan Kepala Sekolah dan guru masih sering terungkap setiap dilaksanakan UN. Bahkan 33 sekolah di Indonesia diidentifikasi melakukan kecurangan secara sistematik sehingga harus melakukan UN pengganti. Dengan penentuan standar kelulusan yang dinaikkan cenderung memicu terjadinya beragam kecurangan secara sistematik tersebut. Keberhasilan lulus UN 100% seringkali menjadi target kepala daerah dan hal ini berdampak pada penekanan para guru, kepala sekolah dan dinas pendidikan.
Sudah waktunya kedepan pola kebijakan UN dapat meniru pola UASBN yang sudah berjalan 3 tahhun. Artinya hasil UN tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa tetapilebih merupakan pemetaan mutu program atau satuan pendidikan. Dengan demikian beragam kecurangan dalam UN yang seringkali terjadi dapat diminimalisir seperti halnya sepinya kecurangan yang terjadi pada UASBN yang tidak pernah kita dengar. Dengan mengubah pola kebijakan UN meniru UASBN maka hasil UN semakin dapat dijadikan dasar pembinaan serta pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan masih suburnya kecurangan dan ketidajujuran UN maka semakin tipislah harapan Depdiknas meyakinkan pimpinan PTN agar hasil UN menjadi dasar seleksi masuk PTN pada tahun 2012. Dalam konteks ini kita perlu merenung dan melakukan refleksi, tujuan dicapai dengan menghalalkan segala cara. Generasi penerus bangsa diajari berbangga pada hasil, walaupun proses untuk mendapatkannya penuh kecurangan dan ketidakjujuran. Legalitas ketidakjujuran lambatlaun menjadi etos kerja, tercermin melalui komitmen pribadi kaum pendidik hanya memerlukan keahlian atau ketrampilan saja, komitmen moral dinomorduakan. Usaha untuk melakukan pemetaan kwalitas pendidikan berdasarkan hasil UN menjadi lebih semu. Sekolah jelek mutunya dianggap bagus. Kalau boleh berharap dunia pendidikan seyogyanya jangan disusupioleh mentalitas mafia. Sudah saatnya kebikjakan Un yang tidak lagi mengedepankan standar kelulusan secara seragam, mungkin pola UASBN dapat mengganti pola UN yang digunakan selama ini agar kehancuran bangsa Indonesia di masa yang akan datang tidak tejadi. Dengan demikian maka UN akan memiliki makna strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia.

3.        KRITIK.
Secara pribadi saya sebagai tenaga pendidik menyetujui dengan adanya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional, tetapi nilai UN jangan dijadikan satu-satunya patokan atau nilai penentu kelulusan siswa karena sering terjadi bahwa siswa yang sehari-hari termasuk siswa yang pandai kadang terjadi pada nilai UN tidak berhasil. Hal ini bisa terjadi saat mengerjakan UN siswa bisa di pengaruhi faktor-faktor tertentu, misalnya kesehatan, psykologi yang pada saat itu kurang baik sehingga menyebabkan siswa tidak berhasil dalam mengerjakan UN. Kebijakan UN tidak memenuhi asumsi tentang adanya praktek kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang melibatkan komunitas sekaolah yaitu siswa, guru, kepala sekolah dan masyarakat. Banyak kasus reformasi pendidikan baik di negara barkembang maupun dinegara maju yang tidak melibatkan komunitas sekolah dalam proses pengambilan keputusannya berakibat kegagalan.  Saya mempunyai pendapat jika UN yang selama ini berjalan tetap masih diadakan tetapi dengan mempertimbangkan nilai pelajaran yang lain dan nilai rapot selama  3 tahun siswa belajar di sekolah terutama bagi sekolah menengah sehingga lulus tidaknya siswa tidak hanya ditentukan oleh nilai UN saja.
Dengan adanya team independen yang diterjunkan ke sekolah-sekolah oleh pemerintah sebenarnya merupakan usaha untuk meminimalkan terjadi kecurangan dalam pelaksanaan UN. Sebagai tenaga pendidik yang profesional marilah kita bersama-sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan indonesia ini dengan bekerja dengan jujur dan bertanggung jawab, janganlah kita dijadikan alat untuk kepentingan politik atasan maupun pemerintah daerah untuk mencari nama baik dengan mengorbankan harga diri kita sebagai insan cendekia. Bagi tenaga pendidik yang masihmelakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN itu mencerminkan pribadi yang tidak profesional, karena guru mempunyai empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Dalam kompetensi yang dimiliki guru salah satunya disebutkan guru menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyrakat.  
Tentang kebijakan Mendiknas nilai UN sebagai bahan pertimbangan dalam selesksi masuk Perguruan Tinggi pada tahun 2012. Rencana intrgrasi UN-SNMPTN jangan-jangan hanya kebijakan dadakan untuk meredam hingar bingar protes pengamat dan praktisi pendidikan terhadap kebijakan UN. Jika kebijakan ini benar adanya seyogyanya Mendiknas akan memiliki team terlebih dahulu yang akan bekerja mencari fakta-fakta strategis tentang relasi UN dengan kapasitas guru dan orang tua serta pihak Perguruan Tinggi terhadap calon mahasiswa yang akan masuk Perguruan Tinggi. Kebijakan kurikulum yang tidak memiliki relasi dengan kebijakan UN dengan model kurikulum yang dikembangkan di Perguruan Tinggi, maka perlu adanya kebijakan untuk memperbaiki seluruh proses pembelajaran pada tingkat kelas dan kegiatan pendukung lainnya pada lingkungan sekolah. Serta belum meratanya kualitas antarsekolah, baik kapasitas guru, kemampuan dukungan orangtua, maupun  finansial dan kepedulian pemerintah daerah dalam mengatasi masalah pendidikan didaerah masing-masing. 

4.        SIMPULAN.
UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional masih perlu dilaksanakan, tetapi nilai UN tidak sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Dalam menentukan kelulusan siswa perlu mempertimbangkan komunitas sekolah yang terdiri dari siswa, guru, kapala sekolah dan masyarakat, banyak rafomasi pendidikan yang tidak memperhatikan komunitas sekolah dalam pengambilan keputusan berakibat kegagalan. Terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN yang sering terjadi sebenarnya hanya sebagai koraban dari kepentingan politik pihak-pihak tertentu, sehingga guru atau tenaga pendidik yang masih mau melakukan kecurangan merupakan guru yang belum profesional karena belum mencerminkan  kompetensi kepribadian yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Kebijakan integrasi nlai UN – SNMPTN perlu dipertimbangkan kembali oleh Mendiknas mengingat Kebijakan kurikulum yang tidak memiliki relasi dengan kebijakan UN dengan model kurikulum yang dikembangkan di Perguruan Tinggi dan belum meratanya kualitas antarsekolah, baik kapasitas guru, kemampuan dukungan orangtua, maupun  finansial dan kepedulian pemerintah daerah dalam mengatasi masalah pendidikan didaerah masing-masing. 

5.        REFERENSI
Ahmad Baedowi, 2009. Artikel” Menimbang Kebijakan integrasi UN-SNMPTN”
Opini Media Indonesia : Jakarta
Idris Harta, 2010. Pedagogik Khusus Bidang Studi Matematika. Depdiknas UMS
FKIP-UMS: Surakarta.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Premium Wordpress Themes